21 Agustus 2008

Sulitnya Mencari Sekolah Yang Bermutu

Forum
Sulitnya Mencari Sekolah yang Bermutu
Rabu, 9 Juli 2008 | 11:55 WIB

Oleh HJ Sriyanto

Tahun ajaran baru menjelang. Kesibukan mencari dan memilih sekolah sudah terasa. Hal ini bisa dimaklumi karena setiap orangtua tentu mengharapkan sekolah yang terbaik bagi anak-anaknya. Namun demikian, mencari sekolah yang baik dan bermutu bukanlah perkara gampang. Tak heran jika orangtua harus terlebih dulu sibuk menyurvei berbagai sekolah untuk mengetahui fasilitas dan keunggulan yang ditawarkan guna menunjang pendidikan sang anak.

Selama ini, publikasi mengenai sekolah yang bermutu di Indonesia memang jarang atau bisa dikatakan sama sekali tidak pernah dilakukan baik oleh instansi swasta, lembaga swadaya masyarakat, maupun oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Dengan demikian, referensi masyarakat tentang kualitas sekolah-sekolah di Indonesia begitu minim. Ditambah lagi kini banyak sekali label-label sekolah, seperti SSN, SSI, SBI, sekolah plus, dan lain sebagainya yang semakin membingungkan masyarakat karena tak tahu apa arti di balik label-label tersebut dan apa yang membedakan sekolah dengan label yang satu dengan sekolah label yang lain.

Memang setiap tahun Depdiknas melalui Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) membuat peringkat SMP dan SMA berdasarkan nilai ujian nasional (UN) tertinggi di seluruh Indonesia. Namun, tentu kualitas sebuah sekolah tidak bisa diukur hanya dengan menggunakan nilai UN. Ini yang sering kali membuat salah kaprah dalam menilai sebuah sekolah. Kriteria pendidikan bermutu di Indonesia, selama ini, masih identik dengan prestasi akademik. Seolah-olah sekolah yang baik dan berkualitas itu adalah sekolah yang rata-rata nilai UN-nya tinggi. Penilaian demikian semakin dikukuhkan dengan adanya sistem penerimaan siswa baru yang didasarkan pada nilai UN. Sekolah-sekolah yang dianggap bermutu dan favorit, khususnya sekolah negeri, menyeleksi calon siswa baru berdasarkan nilai UN itu.

Tentu saja kita masih bisa mempertanyakan, apakah hasil UN yang tinggi yang dicapai siswa itu hasil proses pembelajaran yang baik di sekolah itu atau siswa tersebut mendapatkan nilai baik karena bantuan les privat atau lembaga bimbingan belajar yang men-drill-nya setiap hari selepas sekolah? Kok tampaknya, bukan jaminan bahwa nilai rata-rata UN yang tinggi yang dicapai sebuah sekolah menunjukkan kualitas proses pembelajaran di sekolah tersebut.

Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi sekolah untuk dapat dikatakan bermutu. Sekolah itu harus memiliki visi dan misi yang dirumuskan secara jelas dan menjadi dasar acuan dalam setiap praksis pendidikannya. Sekolah memiliki kurikulum pendidikan yang terstruktur dan kreatif yang mendukung terwujudnya visi dan misi pendidikannya. Sekolah memiliki tenaga pendidik yang profesional, memiliki etos kerja tinggi, kreatif, jujur, dan terampil; mempunyai manajemen dan supervisi yang diterapkan secara kontinu, tepat, dan benar; serta didukung dengan fasilitas, sarana dan prasarana yang memadai. Selain itu, sekolah memiliki jaringan kerja sama yang luas dengan berbagai pihak yang semakin mendukung proses pendidikan yang baik dan bermutu.

Pemerintah sebenarnya sejak tahun 2005 mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) tentang standar nasional pendidikan yang bisa menjadi acuan untuk menilai kualitas sebuah sekolah. Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 tersebut, ada delapan standar yang mesti dipenuhi dalam penyelenggaraan sekolah, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Semestinya dengan acuan standar itu pemerintah bisa membuat penilaian terhadap kualitas sekolah-sekolah dan mengumumkannya sehingga publik dengan mudah bisa menentukan sekolah yang dikehendaki. Selain itu, peta mutu pendidikan Tanah Air akan semakin jelas dan dengan demikian dapat diambil kebijakan-kebijakan strategis untuk peningkatan mutu pendidikan.

Mahal

Sayang memang, masyarakat tidak banyak yang tahu pasti sekolah- sekolah mana saja yang telah memenuhi standar berdasarkan PP No 19/2005 tersebut. Bisa diprediksikan sekolah-sekolah yang memenuhi standar tersebut biasanya biayanya akan mahal. Ini karena, di negara ini, sekolah yang berkualitas telanjur identik dengan sekolah mahal. Namun, apakah sekolah yang bermutu selalu harus mahal? Masih adakah sekolah yang bermutu tapi tidak mahal?

Mungkin akan sulit mencari sekolah yang bermutu dengan biaya murah. Akan tetapi, dengan campur tangan, perhatian, dan dukungan berbagai pihak, bukan hal yang mustahil mewujudkan sekolah bermutu dengan biaya yang terjangkau. Sebagai inspirasi, ada banyak sekolah hebat yang terlahir dari keprihatinan atas situasi semacam itu. Sekolah yang diprakarsai orang-orang yang memiliki kecintaan dan perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan, seperti di Yogyakarta ada SD Mangunan yang digagas almarhum Romo Mangun, di Salatiga Bahrudin dengan Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibahnya.

Untuk mewujudkan sekolah yang bermutu, perhatian dan komitmen pemerintah daerah mutlak diperlukan. Pendidikan mesti menjadi agenda penting dan menjadi prioritas pemerintah daerah. Di beberapa daerah, hal ini juga sudah mulai tampak, seperti di Kabupaten Bantul yang menempatkan pendidikan sebagai prioritas pertama agenda pembangunan. Pun dengan yang dilakukan pemerintah daerah Bekasi yang membebaskan biaya pendidikan di sekolah dasar, dan belum lama ini mencanangkan mulai tahun ajaran 2008/2009 sekolah-sekolah menengah negeri di wilayah Bekasi bebas uang gedung.

Pemerintah daerah Jembrana, Bali, telah lebih dulu menggratiskan biaya sekolah dari SD hingga SMA mulai beberapa tahun lalu. Semoga apa yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah daerah tersebut menginspirasi pemerintah daerah lain untuk melakukan hal yang sama. Dengan begitu, kita bisa berharap, pendidikan sungguh bisa diakses oleh seluruh kalangan masyarakat. Dengan tidak lagi memikirkan mahalnya biaya sekolah, masyarakat pun bisa lebih memfokuskan diri pada peningkatan mutu pendidikan.

Pendidikan bagaimanapun merupakan aset penting bangsa ini, maka peningkatan mutu pendidikan mesti diusahakan terus-menerus dan membutuhkan campur tangan dari banyak pihak. Semoga ke depan kita tak bingung-bingung lagi mencari sekolah yang bermutu!

HJ Sriyanto Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta

13 Maret 2008

Mempertimbangkan Masa Depan Anak-Anak Kita

Apa yang dilakukan terhadap anak-anak pada saat sekarang, akan menentukan keberlangsungan sejarah peradaban negeri ini. Kejayaan atau keterbelakangan bangsa ini di masa depan sangat ditentukan oleh apa yang terjadi pada anak-anak di masa kini. Dengan kata lain, di tangan-tangan anak-anaklah masa depan bangsa berada.
Salah satu yang diyakini dapat menyiapkan dan membekali generasi yang berkualitas di masa mendatang adalah pendidikan. Bahkan ada sementara pihak yang meyakini bahwa kejayaan suatu bangsa hanya bisa dicapai melalui pendidikan. Pendidikan merupakan investasi paling besar yang harus dilakukan oleh suatu bangsa, jika ingin menjadi bangsa yang terhormat. Negara miskin sumber daya alam seperti Jepang, Singapura, atau negara-negara di Eropa, menjadi bangsa ‘berjaya’ bukan lantaran sumber daya alamnya, melainkan karena pendidikan. Sudah sejak awal mula mereka menyadari pentingnya untuk menempatkan pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan. Sehingga wajar jika sekarang negara-negara tersebut memiliki sumber daya manusia berkualitas yang mampu bersaing dan mengendalikan percaturan global.
Jika menengok kondisi pendidikan anak-anak Indonesia saat sekarang, boleh dibilang masih cukup memprihatinkan. Saat ini 44 juta penduduk Indonesia usia sekolah tidak terlayani pendidikannya, atau putus sekolah. Data Balitbang Depdiknas menunjukkan masih sekitar 19 juta anak usia 0 sampai 6 tahun belum mendapat pendidikan. Sekitar 2 juta anak usia 7 sampai 12 tahun tidak terakses di sekolah dasar. Sekitar 7 juta anak usia 13 hingga 15 tahun tidak terakses di SLTP. Dan sekitar 16 juta penduduk usia 15 tahun ke atas masih menyandang buta aksara. Itulah realitas jutaan anak-anak Indonesia berkaitan dengan akses pendidikan.
Namun kenyataan tersebut tampaknya belum menjadi keprihatinan banyak pihak di negeri ini. Sebaliknya banyak pihak cenderung menutup mata, tak peduli dengan nasib jutaan anak tersebut. Sebagai contoh konkrit, jika di suatu kampung, ada satu atau dua anak yang putus sekolah, biasanya hal itu tidak terperhatikan oleh masyarakat sekelilingnya, dan seringkali dianggap sebagai hal yang biasa dan dibiarkan begitu saja. Kalau di negeri ini ada tiga belas ribu pulau, ada tiga puluhan propinsi, ada tiga ratusan lebih kabupaten, dan di setiap kabupaten ada ratusan kampung, maka jika di satu kampung saja ada dua atau tiga anak yang putus sekolah, sudah berapa banyak anak putus sekolah yang dibiarkan dan dianggap sebagai suatu kewajaran? Hal yang tampaknya dianggap wajar, bukan merupakan suatu masalah, tapi jika dilihat secara makro, kaitannya dengan masa depan adalah masalah besar bagi bangsa ini.
Berbicara mengenai nasib jutaan anak yang kurang beruntung, tidak bisa dilepaskan dari kondisi bangsa saat ini. Keadaan negara yang belum mampu membebaskan diri dari jerat berbagai multi krisis, mulai dari krisis ekonomi, politik, sosial, keamanan sampai ancaman disintegrasi bangsa, berimbas pada sebagian besar masyarakat, khususnya lapisan masyarakat menengah ke bawah. Dampak yang paling kentara berkait dengan masalah ekonomi. Hampir sebagian besar masyarakat lapisan menengah ke bawah mengalami kesulitan ekonomi, bahkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar, seperti sandang, papan dan pangan saja seringkali tidak mampu.
Kesulitan ekonomi tersebut secara langsung atau tidak langsung juga akan membawa serangkaian imbas bagi anak. Banyak orangtua yang kemudian lebih banyak mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi, sehingga anak kurang mendapatkan perhatian semestinya. Minimnya perhatian terhadap anak dewasa ini menjadi kecenderungan hampir sebagian besar keluarga di Indonesia, tidak saja keluarga kelas menengah ke bawah, tapi juga keluarga kelas atas. Bisa jadi, inilah salah satu sebab tingginya angka putus sekolah di Indonesia, yang secara absolut oleh Bank Dunia diprediksi mencapai hingga 4,5 juta anak setiap tahunnya.
Sementara di satu sisi kondisi ekonomi terpuruk, di sisi lain biaya pendidikan saat ini dirasakan cukup mahal, sehingga muncul adanya kecenderungan banyak orangtua memilih melakukan deschooling. Menyerahkan pendidikan anak-anaknya kepada komunitas, belajar dari pengalaman hidup sehari-hari dari masyarakat sekitarnya, atau malah membiarkan anak-anaknya mendidik diri sendiri di rumah atau di jalan. Bahkan akibat kesulitan ekonomi, akhirnya banyak anak usia dini memasuki dunia kerja. Ribuan anak ikut bekerja membanting tulang, hidup di jalanan kota-kota besar, menggantungkan hidup sebagai pedagang asongan, pengamen atau sekedar bermodal tangan kosong di perempatan jalan. Kehidupan sosial yang keras mau tak mau telah mempercepat proses pendewasaan mereka.
Pun akhir-akhir ini jumlah anak-anak yang terlantar pendidikannya kian bertambah sebagai akibat maraknya penggusuran yang terjadi di berbagai kota, korban bencana alam, ataupun karena kerusuhan akibat konflik di berbagai daerah seperti Aceh, Ambon, Sampit, Poso dan sebagainya yang semakin menambah deretan panjang jumlah anak yang tergusur dan terampas masa depannya.
Jutaan anak putus sekolah selama ini tidak banyak terperhatikan, sebagaimana pendidikan itu sendiri yang juga tidak pernah benar-benar menjadi prioritas dan selalu dikesampingkan dalam wacana politik bangsa ini. Kalah menarik dibandingkan gemerlap dunia politik, dengan hingar-bingar perebutan kursi kekuasaannya. Seringkali pendidikan tidak lebih hanya sebagai alat dalam memenuhi agenda politik dan kepentingan tertentu. Pendidikan tidak diarahkan sebagai rekayasa budaya, tetapi diarahkan sebagai bagian dari proses pemenangan ideologi politik. Bagaimanapun, jutaan anak tersebut adalah juga anak-anak Indonesia. Sudah selayaknya banyak pihak memikirkan dan mempertimbangkan masa depan mereka, agar mereka tidak begitu saja hilang di telan jaman, menjadi generasi yang hilang.
Pendidikan merupakan salah satu sarana yang dapat membekali mereka untuk mampu bertahan dalam dunia yang kompetitif dewasa ini. Di dalam konstitusi negara disebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran, pun pemerintah telah mencanangkan wajib belajar 9 tahun. Itu artinya, bahwa siapapun anak usia sekolah, entah kaya atau melarat dan dimanapun berada, entah di kota, daerah pinggiran, desa atau daerah terpencil sekalipun, selama masih di wilayah teritori Indonesia memperoleh perlakuan dan kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan, atas tanggungan negara dan masyarakat. Jika konsisten dengan konstitusi tersebut, maka mestinya tidak akan ada jutaan anak-anak yang terlantar pendidikannya. Kemiskinan, penggusuran, kerusuhan dan konflik tidak seharusnya merampas masa depan jutaan anak-anak tersebut.
Di tengah situasi seperti saat sekarang, pendidikan yang berpihak pada yang lemah mesti dikedepankan. Konsekuensinya, pemerintah dan masyarakat bersungguh-sungguh memperhatikan pendidikan di negeri ini, termasuk dengan mengalokasikan anggaran pendidikan yang memadai. Pendidikan sebagai kunci pengembangan kualitas sumber daya manusia sudah selayaknya mendapatkan perhatian yang serius. Sebab jika tidak, bangsa ini ibarat tinggal menunggu waktu kapan negara ini jatuh terpuruk, menjadi bangsa terbelakang yang tidak mampu berbicara dalam percaturan kancah dunia global. Selain itu, tanpa disadari dengan minimnya anggaran yang dialokasikan untuk sektor pendidikan, sebenarnya ibarat menanam bom waktu. Banyaknya angka putus sekolah secara langsung ataupun tidak langsung akan menyumbang bagi terciptanya kerawanan sosial. Rendahnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, toleransi yang tinggi terhadap kejahatan kiranya lebih mahal taruhannya dibandingkan dengan anggaran yang dikeluarkan untuk sektor pendidikan.
Sudah saatnya menumbuhkan apresiasi dan partisipasi masyarakat terhadap pendidikan. Sentralisasi pendidikan yang berlangsung selama ini cenderung membatasi masyarakat dalam kungkungan paradigma yang sempit. Pendidikan, masih belum dipahami sebagai tanggung jawab bersama, melainkan hanya sebagai tanggung jawab pemerintah. Masyarakat belum secara optimal turut ambil bagian dalam pendidikan, partisipasi masyarakat masih sebatas pendanaan, keterlibatan belum sampai pada tataran pengambilan keputusan, evaluasi, dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.
Bagaimanapun pendidikan harus diupayakan agar dapat diakses masyarakat secara luas, dan terutama masyarakat yang kurang beruntung. Munculnya pendidikan alternatif yang mulai berkembang di tengah-tengah masyarakat, terutama pendidikan bagi masyarakat yang terpinggirkan, yang diselenggarakan oleh berbagai pihak dalam beberapa waktu terakhir patut mendapat dukungan bersama. Dengan adanya pendidikan alternatif demikian akan memperluas akses terhadap pendidikan, terutama bagi mereka yang sulit terjangkau pendidikan formal, baik karena alasan demografi yang terpencil, kemiskinan, penggusuran, maupun sebab ketidakberdayaan sebagai akibat bencana alam, konflik atau kerusuhan. Dengan demikian, akan semakin banyak anak-anak kurang beruntung yang dapat mengakses pendidikan, sehingga mereka juga memperoleh kesempatan membekali diri dengan pendidikan. Tidak hanya sekedar menjadi penonton dan obyek pembangunan yang terpinggirkan.@

Pendidikan, Untuk Siapa?

Sampai saat sekarang pendidikan masih diyakini sebagai salah satu kunci pengembangan kualitas sumber daya manusia. Namun demikian, sebagian besar masyarakat terancam tidak dapat mengakses pendidikan, karena biayanya yang mahal. Bayangkan saja, Pendidikan untuk balita seperti play group, pra-TK dan TK uang masuknya jutaan rupiah. Uang SPP di SD mencapai ratusan ribu per bulan. Pun biaya pendidikan di sekolah menengah, apalagi di Perguruan Tinggi. ITB malah membuka jalur penerimaan mahasiswa baru khusus dengan syarat pembayaran 45 juta untuk tiap calon mahasiswa. Bahkan Departemen Teknik Fisika ITB menyediakan 10 bangku untuk mahasiswa baru dengan harga 25.000 dolar AS perbangkunya (Kompas, 8/5/2003).
Biaya pendidikan yang semakin mahal tidak lepas dari rendahnya anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk sektor pendidikan. Rasio anggaran pendidikan di Indonesia terus mengalami penurunan sejak tahun 1981 hingga sekarang. Dalam APBN 2001 pemerintah hanya mengalokasikan 4,4 % dari total APBN atau sekitar Rp 9,707 triliun. Sedangkan RAPBN 2002, meski terdapat kenaikan menjadi Rp 11,552 triliun, namun tetap tidak signifikan dibandingkan dengan sektor yang lainnya. Dan meskipun pasal 31 UUD 1945 yang telah diamandemen mensyaratkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Dalam kenyataannya anggaran sektor pendidikan dalam RAPBN 2003 hanya Rp 13,6 triliun atau sekitar 4,15 % dari APBN, masih kalah dibanding anggaran untuk bidang pertahanan dan keamanan, yaitu 7,5 % atau sekitar Rp 24,7 triliun.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap pendidikan masih sangat kurang. Betapa pendidikan tidak dianggap sebagai kekuatan dasar dari pembangunan bangsa. Pendidikan tidak dipandang sebagai investasi jangka panjang dan aset masa depan. Minimnya dana pendidikan yang dianggarkan pemerintah menyebabkan lembaga pendidikan harus berupaya untuk mencukupi biaya operasional penyelenggaraan pendidikannya, dan hal itu paling gampang dilakukan dengan menaikan biaya pendidikan. Akhirnya yang menanggung bebannya adalah masyarakat, sehingga semakin banyak masyarakat yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar di bidang pendidikan.
Komersialisasi pendidikan yang berkembang dewasa ini juga berdampak pada mahalnya biaya pendidikan. Lembaga Pendidikan cenderung beralih fungsi menjadi lembaga bisnis. Meskipun hal itu sebenarnya juga tidak terlepas dari tuntutan otonomi pendidikan, dimana lembaga pendidikan dituntut untuk mengatur dan mengelola lembaganya secara mandiri termasuk dalam hal anggaran pendidikan. Peralihan status PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara, dan menjamurnya perguruan tinggi yang hanya bertujuan mendapatkan mahasiswa sebanyak-banyaknya tanpa ditopang dengan kualitas dan fasilitas pendukung proses pendidikan yang memadai adalah beberapa yang bisa dicontohkan sebagai penyebab mahalnya pendidikan.
Di sisi lain, budaya materialisme dan konsumerisme yang berkembang dalam masyarakat telah menempatkan penghargaan terhadap pendidikan pada titik yang rendah. Pendidikan dianggap tidak lebih sebagai product untuk menaikkan gengsi. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi gengsinya, tanpa menghitung kualitasnya. Berbagai upaya dilakukan agar dapat diterima di lembaga pendidikan yang dianggap bisa menaikkan gengsi, termasuk dengan cara membayar mahal uang sekolah. Pada titik inilah terjadi kompromi antara lembaga pendidikan dan orangtua. Akhirnya yang berduitlah yang mampu mengenyam pendidikan, meski dari sisi akademis tidak mampu. Sebaliknya anak didik yang memiliki kemampuan akademis baik, karena secara ekonomis tidak mampu maka ia tidak dapat memperoleh pendidikan yang baik.
Biaya pendidikan yang semakin mahal dan tidak terjangkau akan berimplikasi pada banyaknya angka putus sekolah. Data Balitbang Depdiknas menunjukkan bahwa sekitar 29,8% siswa SD tidak menyelesaikan sekolah, di tingkat SLTP 14,8% dan SMU sekitar 13,4%. Tahun 2000 saja, sedikitnya 7,2 juta anak di seluruh Indonesia tidak mampu merasakan bangku sekolah, baik di jenjang SD, SLTP dan SLTA. Ada kecenderungan karena biaya pendidikan sangat mahal orangtua yang secara ekonomi lemah terpaksa melakukan deschooling, menyerahkan pendidikan kepada komunitas, belajar dari pengalaman hidup sehari-hari dari masyarakat sekitarnya. Kesulitan ekonomi telah memaksa orangtua bekerja keras sepanjang hari dan membiarkan anaknya mendidik diri sendiri di rumah atau di jalan. Bahkan tidak sedikit anak usia dini yang memasuki dunia kerja.
Meskipun dalam konstitusi negara disebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran, pun pemerintah telah mencanangkan wajib belajar 9 tahun, namun masih banyak masyarakat yang tidak dapat mengeyam pendidikan. Kemiskinan telah menyebabkan kemampuan mengakses pendidikan terputus. Dalam situasi demikian, pendidikan yang berpihak pada rakyat kecil mesti dikedepankan. Pendidikan bukan hanya monopoli kalangan berduit saja, kalangan bawahpun berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
Melihat realitas pendidikan yang semakin mahal dan tidak terjangkau oleh sebagaian besar masyarakat, kiranya perlu mendesakkan kepada pemerintah untuk mengedepankan sektor pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan. Perhatian pemerintah harus diwujudkan dengan menaikkan anggaran pendidikan, minimal seperti yang diamanatkan dalam pasal 31 amandemen UUD 1945, yaitu 20% dari APBN. Sudah saatnya pendidikan sebagai kunci pengembangan kualitas sumber daya manusia mendapatkan perhatian yang serius. Sebab jika tidak, bangsa ini tidak akan mampu bersaing dalam kancah percaturan dunia global yang kompetitif. Selain itu, tanpa disadari dengan minimnya anggaran yang dialokasikan untuk sektor pendidikan, pemerintah telah menanam bom waktu. Banyaknya angka putus sekolah secara langsung ataupun tidak langsung akan menyumbang bagi terciptanya kerawanan sosial. Rendahnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, toleransi yang tinggi terhadap kejahatan kiranya lebih mahal taruhannya dibandingkan anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk pendidikan.
Selain itu, kiranya perlu merumuskan kembali orientasi pendidikan. Pendidikan terutama pendidikan dasar dan menengah harus mengarah pada keterbentukan karakter pribadi peserta didik. Dengan bekal karakter pribadi yang kuat, memiliki sikap kemandirian, kepercayaan terhadap kemampuan sendiri, dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan peserta didik akan sanggup survival dalam persaingan global. Mereka akan sanggup menciptakan peluang kerja alternatif dan akan terus belajar dengan caranya sendiri, meski tidak lewat pendidikan formal.@

Membaca Kekerasan dalam Praksis Pendidikan Kita

Kekerasan dewasa ini hampir menghinggapi seluruh segi kehidupan. Multi krisis yang tengah dialami negeri ini, telah banyak melahirkan kekerasan. Pun kekerasan tak luput hadir dan turut mewarnai dunia pendidikan kita. Tawuran antar pelajar hampir setiap kali terjadi dan terus berulang dari tahun ke tahun. Tidak jarang kita pun mendengar berita guru melakukan kekerasan terhadap anak muridnya. Dan yang membuat miris, kekerasan tersebut tidak hanya menyebabkan luka, tapi bahkan sampai ada yang merenggut nyawa.
Mungkin akan sedikit sulit untuk menerima kenyataan bahwa kekerasan hadir dan ikut mewarnai praksis pendidikan kita. Bagaimana mungkin pendidikan yang seharusnya melahirkan insan-insan humanis malah mencetak para pelaku tindak kekerasan? Pelajar dan mahasiswa yang notabene adalah produk dari institusi pendidikan, orang-orang yang berproses dan bergelut di dalam dunia pendidikan, mengapa dengan mudahnya melakukan aksi kekerasan? Sungguh merupakan hal yang ironis. Bagaimana mungkin mereka bertindak tanpa kejernihan pikiran dan perasaan, tapi sebaliknya cenderung emosional dan ngotot menganggap dirinya yang paling benar. Dimanakah sikap kritis, kedewasaan pola pikir yang mencirikan sebagai individu yang berproses dalam pendidikan? Tanpa berpikir panjang dan secara emosional melempari dan merusak fasilitas umum, mengeroyok, menggebuki bahkan sampai menghilangkan nyawa. Adakah ini tanda-tanda kegagalan proses pendidikan kita? Mengapa institusi pendidikan malah seringkali melahirkan tindak kekerasan?
Apa yang terjadi diatas bisa jadi mengindikasikan adanya gejala kemerosotan dan semakin rendahnya penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dan apabila mau merunut dan merefleksikan kembali praksis pendidikan yang berlangsung selama ini, kiranya wajar jika hal tersebut terjadi. Mengapa? Karena seperti diungkapkan St. Kartono (2002;129), praksis pendidikan kita dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi menganut supremasi IQ alias pendewaan akal, sementara perasaan tidak pernah digarap secara formal strategis.
Kurikulum pendidikan kita yang begitu padat, tidak cukup memberikan ruang bagi pendidik dan peserta didik untuk lebih dalam menggali kemampuan, potensi, kebenaran dan keindahan serta sikap perilaku yang terbuka. Proses pendidikan menjadi tidak cukup bermakna. Pendidik dan peserta didik telah kehilangan kesempatan untuk mengolah pengalaman belajar, untuk memaknai proses pendidikan. Kondisi ini masih diperparah lagi dengan tuntutan orang tua kepada para peserta didik untuk mengikuti berbagai aktivitas diluar kegiatan belajar di sekolah, seperti les pelajaran atau kursus-kursus lain. Hal ini tanpa disadari telah menjauhkan peserta didik dari realitas kehidupan di sekitarnya. Mencerabut kesempatannya untuk bersosialisasi, yang memungkinkannya untuk lebih dekat mengenal dan mengembangkan sisi kemanusiaannya. Akibatnya, banyak peserta didik yang tidak semakin pandai atau cerdas. Namun sebaliknya, justru dengan semakin banyak dijejali berbagai macam les dan kursus, peserta didik akan kehilangan martabat kemanusiaannya dan tidak humanis.
Proses pendidikan yang berlangsung selama ini cenderung lebih menekankan pada pengembangan sisi kognitif belaka dan mengesampingkan pengembangan sisi afektif dan sisi-sisi kemanusiaan peserta didik. Hati dan rasa sebagai penyeimbang akal pikir, jarang sekali mendapatkan pengasahan dalam proses pendidikan. Demikian juga dengan kepekaan sosial atau kepedulian terhadap sesama, tidak pernah terlatih dengan baik karena tidak pernah dihadirkan dalam praksis pendidikan. Kalau proses pendidikan mengasingkan peserta didik dari realitas kemanusiaannya, maka yang terjadi mereka pun akan tumbuh dengan mengabaikan penghargaan terhadap sesamanya sebagai manusia. Sehingga tidak mengherankan apabila terjadi tindak-tindak kekerasan seperti pengroyokan, pemukulan dan tindak anarkis lainnya, yang dilakukan pelajar atau mahasiswa karena mereka jarang sekali berbicara dengan hati atau perasaan, tidak mengasah kepekaan sosial dan kurang bersentuhan dengan realitas sosial mereka.
Selain itu, seperti diungkapkan Prof. Kurt Singer seorang ahli pedagogi dari Jerman, bahwa sekolah bukan lagi tempat yang nyaman bagi anak-anak. Sistem pendidikan sekolah mau tak mau menjadikan guru sebagai agen yang mengawasi, menindas dan merendahkan martabat siswa. Sekolah menjadi lingkungan penuh sensor yang mematikan bakat dan gairah anak untuk belajar. Pekerjaan dan kewajiban sekolah menjadi diktator yang memusnahkan kemampuan anak untuk belajar menjadi dirinya. Sekolah bukan lagi tempat untuk belajar melainkan tempat untuk mengadili dan diadili. (Sindhunata, Majalah Basis hal. 3 edisi Januari-Februari 2001). Tanpa disadari sekolah telah menjadi tempat bagi berlangsungnya penindasan terselubung. Banyak kekerasan terselubung yang seringkali terjadi di sekolah tanpa disadari. Akibatnya, sebagai pelampiasan dari ketertekanan ini, ketika siswa berada di luar sekolah mereka melakukan tindak kekerasan dengan tawuran, pengrusakan fasilitas umum dan lain sebagainya. Meluapkan kefrustasian mereka dengan berbagai tindak destruktif .
Melihat kecenderungan diatas dan juga kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat kita, dimana penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan begitu merosot. Baik kiranya untuk mulai membenahi semua itu dengan mengoreksi dari praksis pendidikan yang tengah berlangsung selama ini. Pendidikan mau tidak mau harus menyertakan dimensi kemanusiaan dalam praksisnya.
Menurut Mardiatmadja (1986), ada tiga prinsip yang dapat disumbangkan oleh humaniora, khususnya dalam kaitannya dengan praksis pendidikan. (1) Dalam proses pendidikan, pengembangan pikiran dan hati harus berjalan bersama. (2) Peserta didik harus diberi kesempatan untuk berkenalan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dan abadi. (3) Dalam pendidikan harus ada kerjasama erat antara pendidik dan peserta didik serta antara teori dan praktek.
Apabila ketiga prinsip diatas di pegang dalam setiap praksis pendidikan, maka niscaya pendidikan akan sungguh dapat memanusiakan manusia yang berproses di dalamnya. Karena menghadirkan dimensi kemanusiaan dalam praksis pendidikan berarti menuntut interaksi pendidikan yang menempatkan pendidik dan peserta didik sebagai manusia dengan keseluruhan pribadinya yang utuh.
Agar dimensi kemanusiaan tetap dikedepankan dalam praksis pendidikan, kurikulun harus menyajikan materi yang memungkinkan bagi tumbuhnya sikap kritis peserta didik. Karena hanya dengan sikap kritis, pendidikan akan memberikan kemungkinan bagi peserta didik untuk memiliki kemampuan berpikir. Dengan kemampuan berpikir yang menyertakan daya kritis, maka pribadi yang belajar dapat terus-menerus mempermasalahkan pendapatnya sendiri dan membuat reinterprestasi atas dunianya. Sehingga dapat mengaktualisasikan dirinya secara utuh. Dengan demikian, akan terbuka ruang dialog yang merupakan bentuk perjumpaan antar sesama manusia. Banyak peristiwa kekerasan sebenarnya terjadi karena tiadanya ruang dialog semacam ini. Tiadanya komunikasi dan kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap kerangka berpikir orang lain yang berbeda, telah mengakibatkan pertentangan, pertumpahan darah dan bahkan hilangnya nyawa.
Pendidikan harus dapat mengembangkan peserta didik secara integral, yaitu seluruh sisi kemanusiaannya secara utuh. Dan ini hanya mungkin tercapai jika pendidikan bukan hanya memfokuskan diri pada sisi intelektual saja, tapi juga secara bersamaan mengolah sisi emosional, sosial dan spiritual dengan berimbang. Ada keseimbangan antara teori dan praksis yang terintegrasi dalam kehidupan peserta didik secara nyata. Tanpa itu semua, maka pendidikan akan timpang, tidak akan pernah menemukan makna yang sesungguhnya. Dan seharusnya kekerasan yang telah cukup berakar kuat dalam budaya masyarakat kita dapat dikikis dari praksis pendidikan yang menghadirkan dimensi kemanusiaan didalamnya. Semoga!@

20 Januari 2008

Who says being a teacher is easy

Yogyakarta (Kompas: 04/12/06) Many consider teacher is a second-class profession. Not many people want to be a teacher unless they do not have any other choice or being jobless. There is an impression that any university graduate could be a teacher if the person wants to. The work is easy: going to work in the morning, teaching and come home in the afternoon.
Being a teacher is considered as an easy work. Many people forget that teacher play an important role in education process. Even though a teacher is not the sole factor that determine the success of education; yet, teacher is still the main hub in education process. Without teachers, education process will limp.
The introduction of Teachers and Lecturers Law has brought fresh air for teacher’s profession. The law will become a legal umbrella; it is also represent the government’s recognition for teachers’ profession. The law will hopefully nurture appreciation for teachers; and teachers’ profession could hopefully be in line with other professions, and it could encourage teachers’ quality development, and eventually boosts the education quality improvement in the country.
At least, the introduction of the Law on Teachers and Lecturers makes teachers’ profession becomes more attractive, especially as the law promises a better welfare in the form of monthly allowance amounting one month salary and functional allowance. However, the Law on Teachers and Lecturers also brings some quite difficult consequences for teachers. One the one hand, this law promises welfare for teachers; on the other hand, it also demands many requirements from teachers.
Before enjoying the monthly allowance whose amount is equal to a monthly salary and functional allowance totaling Rp 500.000 per month, a teacher has to meet several requirements: academic qualification of S1 or D-IV, holding education certificate acquired through professional training and a series of competency tests. Those requirements seemed normal; it is like wise for requirements of other profession. However it is different when we are talking about teachers’ profession in this country. Related to the current condition of teachers in the country, those requirements are quite big challenges.
1.8 million out of 2.7 million teachers in this country has not met the academic qualification of S1 degree. In the secondary school level, it is not so bad; 62.08 % of secondary school teachers hold S1 degree. However, in basic education level, mainly elementary school, the situation is much worse. Only 8.3 percent out of 1.3 million elementary school teachers have met the S1 qualification. The government’s program to make elementary school teachers hold the D2 have took over ten years and the result was only 40%. Most elementary school teachers only hold D-1 degree or less.
In order to meet the academic requirement of S1 some 1.8 million teachers have to go back to school; while the Law on Teachers and Lecturers only gave up to 10 years to fulfill the requirement. Is it feasible? Where do the funds come from? Will the government manage to cover the expenses?
If teachers have to pay for their education, it seems difficult to realize due to their current living condition. Moreover, we should take into consideration the limitations of Teachers’ Training Institute (LPTK) to accommodate teachers who want to pursue higher education to obtain the S1 degree. It is almost certain that many teachers would not be able to catch up. Which means in 10 years from now there would be many teachers who has not meet the S-1 qualification. Such a situation will create a tight competition among teachers. Teachers have to compete against each other if they want to survive being a teacher.
If the S1 qualification has been fulfilled, dopes it means that the problem is over? Actually the S1 academic requirement is not enough, teachers have to attend education certificate. How difficult it is for teachers only to get an extra income of professional allowance amounting one month basic salary and functional allowance of Rp 500,000. So, who said being a teacher is easy?
We should bear in mind, holding S1 academic qualification, holding education certificate, or passing competency tests do not guarantee that a teachers is of a good quality and is qualified to become a professional teacher….not to mention if those requirements have been fulfilled using short cut or just formalities.
The S1 academic qualification was only a formal legal requirement that a teacher must fulfill. In reality, teachers’ quality depend on their professionalism and their devotion towards the profession, when they are in front of the classrooms with their students and serving them. Teaching and educating, humanizing young human beings. This is far more difficult to fulfill and it becomes a never-ending challenges for a teacher.
The dynamics of education in Indonesia is very instable; it requires teachers to be more flexible, adaptive and able to move fast. Education curriculum that could change anytime is an example to illustrate this situation. It is likewise with the national examination, which is never clear at the beginning of a new academic year, maybe it will be organized or maybe not, with the criteria and standards that change all the time and we only know exactly only a few months before the examination. Facing such a situation, where teachers often become an object of education policies, it needs endurance, patience, adaptation, and it is not an easy task.
Many requirements
Teachers are always asked to catch up with the development. The development also requires teachers to adapt in the education process. Previously, teachers’ role was emphasized on the creation of vision, knowledge and skills needed in this industrial era, teachers role now has to be the learning facilitator which has become requirement in this age of information
Those changes do not make teachers’ tasks and responsibilities become easier because teachers still have the responsibility in creating knowledge, skills and stances from the ongoing learning process, and responsibility to participate in the effort to achieve the objective of education as a whole.
Consequently, teachers have to understand the characteristic and the teaching materials, mastering the concept, understanding the methodology of his/her subject, understanding the context of the subject and its relation with the society, environment and other sciences. Moreover, teachers are also required to know their students’ personality better. Therefore, teachers should be familiar with personal approach, mastering psychology and children development, mastering theories of pedagogy, mastering and capable of developing teaching models.
This requires teachers’ quality and competency improvement, through perpetual self rejuvenation according to the requirement of the development. Moreover, teachers should love their profession. Love is the key for teachers to become professional. Like a boy, in love to a girl, he would be willing to anything for her. If a teacher love his/her profession, love his/her students, no matter how difficult the challenges he is facing — more over it is only low salary and reduced allowance — it would not stop teachers from continuing to humanize young human beings.
In order to love their profession, teachers should look back, thinking why they would become teachers in the first place; purifying the motivation to become teachers. Eradicating all obligation for the past and changes them with the clarity of new vision and mission. Choosing to be a teacher is a moral responsibility, and at the same time a social responsibility which is much more important than being forced to. And, we have to admit, this is not an easy task. It needs a long process.
So, who says being a teacher is easy! Indonesia, appreciate your teachers! That’s the only way to develop education in the country.
HJ Sriyanto, Teacher of De Britto High School Colege in Yogyakarta